Fiksi Romantis dan Ekspektasi yang Nggak Realistis

Bahaya di balik novel romantis

Fiksi Romantis dan Ekspektasi yang Nggak Realistis

Follow Popbela untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Whatsapp Channel & Google News

Kamu suka membaca buku, Bela? Jika iya, tentu kamu pernah menyempatkan diri untuk membaca novel atau karya fiksi. Dari sekian banyak genre yang ada, fiksi romantis merupakan jenis yang paling banyak diminati, terutama oleh wanita. Bahkan, saking larisnya, hampir semua karya fiksi kini dibumbui oleh kisah romantis meski cinta bukanlah tema utamanya. Seperti sayur tanpa garam, cerita fiksi tanpa bumbu romantis rasanya hambar.

Lalu apa yang membuat novel romantis begitu digilai? Bisa dibilang, novel romantis itu seperti permen bagi jiwa wanita. Cerita cinta yang berlangsung manis dan berakhir bahagia memberikan perasaan senang bagi pembacanya. Tapi, jika kamu pernah menyadarinya, sebagian besar fiksi romantis memiliki ciri khas, apalagi jika fiksi tersebut memang ditulis untuk pembaca wanita.

parade-e0aaced1bdf8ef8151574a04cc215a19.jpgParade.com

Pertama, penjelasan tentang sosok pria yang detail. Mulai dari warna mata, warna kulit, potongan rambut, bagaimana wajahnya ketika dia tersenyum, bagaimana postur tubuhnya, semuanya digambarkan secara rinci. Belum lagi jika dia berbicara, bagaimana dia menatap tokoh utama wanita, bagaimana aroma tubuhnya bahkan hingga label sepatu yang dikenakan. Sebaliknya, karakter utama wanita yang memiliki kata ganti pertama nggak mendapat porsi yang setara untuk penggambarannya.

Kedua, yaitu tentang status. Biasanya, karakter pria memiliki sifat yang keras, sulit dijangkau, bad boy, angkuh, menantang, dingin atau misterius, sesuatu yang menunjukkan posisinya yang dominan. Lalu muncul status sosial atau profesi yang seolah membenarkan sifat-sifat tersebut, misal dia seorang pimpinan perusahaan, seorang detektif, anggota geng motor, agen CIA, bangsawan. Sedangkan lawan mainnya adalah wanita yang biasa-biasa saja, dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja, paras yang dibilang biasa saja dan tentunya dia adalah wanita yang (pada akhirnya) berhasil mengambil hati pria yang nggak biasa-biasa saja. Jika jenuh, posisinya bisa dibalik, ketika wanita kaya jatuh cinta dengan pria miskin seperti film The Notebook. Familier dengan pola ini?

amazon-61f23a75a75a4f8790669724c5df34bc.jpgAmazon.com

Ketiga, setelah ada pertemuan, kebersamaan lalu menghadapi konflik bersama, timbul lah bibit-bibit cinta dari kedua karakter di fiksi romantis ini. Sang pria mulai luluh, memiliki rasa yang berbeda terhadap wanita di hadapannya dan beradu dengan logika serta situasi yang dia miliki. Hari demi hari, sang wanita menunjukkan kepeduliannya terhadap lawan jenisnya atau menunjukkan kegigihannya menghadapi masalah yang menghalangi hubungan mereka demi mencapai masa depan yang romantis dan bahagia selamanya. Pria yang dulu sulit diraih pun kini bisa bertekuk lutut di depan sambil memerlihatkan kotak kecil berisi cincin berlian, “Will you marry me?” Siapa yang nggak luluh ketika pria sempurna yang nggak bisa dijangkau oleh wanita lain memintamu untuk menjadi pendamping hidupnya?

Oke, kembali ke realita.

Kata nenek, jangan terlalu sering makan permen jika nggak mau giginya rusak. Rupanya, ‘permen’ wanita alias fiksi romantis ini juga punya efek samping jika terlalu sering dikonsumsi. Ketika setiap kisah fiksi yang dibaca menyuguhkan cerita serupa, lambat laun fiksi tersebut menjadi ekspektasi dalam kehidupan nyata. Selain karena pria sesempurna itu sulit sekali ditemui, wanita yang terlalu banyak membaca fiksi romantis akan berharap kisah cintanya berlangsung seperti novel yang dibaca.

time-2-a29cbcb736a38ea6d4dbba6dad4bb490.jpgTime.com

Dalam jurnal berjudul The Impact of Romance Novels On Women’s Sexual and Reproductive Health, sang penulis yaitu Kundan Iqbal mengutip dari perkataan Meg Cabot, penulis fiksi romantis asal Amerika, “Hidup bukanlah sebuah novel romantis. Alasan kenapa novel romantis terjual begitu banyak, alasan kenapa semua orang menyukainya, adalah karena nggak ada satu pun orang yang hidup seperti dalam novel. Semua orang menginginkan hidupnya terjadi seperti itu.”

Dalam jurnal tersebut, Iqbal juga mengutip tulisan Susan Quilliam dari situs BMJ Sexual & Reproductive Health yang berjudul “He Seized Her In His Manly Arms and Bant His Lips To Hers…” The Surprising Impact That Romantic Novels Have On Our Work. Menurut Susan, fiksi romantis bisa membawa dampak negatif bagi pembacanya, terutama tentang pengetahuan seks. Adegan seks yang digambarkan dalam fiksi dianggap kurang realistis, seperti keduanya mencapai orgasme (bahkan karakter wanita mengalami orgasme berkali-kali) hingga melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom dengan alasan ‘nggak ada pembatas’ antara dirinya dan pasangannya. Seks tanpa pengaman dan orgasme berkali-kali dianggap sebagai bukti cinta atau bentuk cinta yang sesungguhnya.

ravishly-b88b3bf3eb1ab1b8398652a416e5ff57.jpgRavishly.com

Di balik efek sampingnya, fiksi romantis juga menyimpan sisi positif bagi wanita, salah satunya yaitu membangkitkan kepercayaan diri wanita dalam hubungan ranjang. Hal itu karena pembaca menjadi lebih memahami tubuhnya dan lebih bebas bereksplorasi. Menurut survei, wanita yang suka membaca novel romantis juga jarang membandingkan pasangannya dengan karakter pria yang ada dalam fiksi, kecuali jika dia memang sudah nggak bahagia dengan hubungannya.

Apakah novel romantis selalu berdampak buruk bagi wanita? Tentu itu semua kembali lagi pada siapa yang membacanya. Yang jelas, semua itu perlu diimbangi dengan akal sehat dan menyadari mana kisah fiksi dan kisah nyata. Di sisi lain, meyakini bahwa nggak semua kisah cinta akan berakhir bahagia juga membantu pembaca untuk lebih realistis. Hindari tindakan menyalahkan diri sendiri karena cerita cintamu di dunia nyata nggak seindah novel atau drama Korea.

Toh, namanya juga cerita fiksi.

BACA JUGA: Menurut Peneliti, Ini Manfaat di Balik Membaca Novel Erotis

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here